Salah Asuhan dan Luka Psikologis Bangsa yang Tak Kunjung Pulih
Minggu, 1 Juni 2025 17:52 WIB
Novel ini jauh lebih dari sekadar drama asmara. Ia adalah rekam jejak kegagalan proyek kolonial dalam membentuk manusia terjajah
Ketika berbicara tentang Salah Asuhan karya Abdul Moeis, kebanyakan orang akan segera mengaitkannya dengan kisah tragis cinta antar-ras antara Hanafi dan Corrie. Namun, jika kita membacanya lebih jauh dengan lensa psikologi poskolonial dan sejarah pendidikan kolonial, novel ini jauh lebih dari sekadar drama asmara. Ia adalah rekam jejak kegagalan proyek kolonial dalam membentuk manusia terjajah yang tercerabut dari akar budayanya—sebuah luka psikologis yang, mungkin, masih membekas dalam tubuh bangsa ini hingga hari ini.
Pendidikan Kolonial: Membentuk Manusia yang Terbelah
Hanafi adalah anak zaman—produk dari pendidikan kolonial yang mengajarkan keunggulan Eropa dan inferioritas Timur. Ia tidak hanya terpelajar, tetapi juga terjajah dalam cara berpikirnya. Rasa malu Hanafi terhadap bahasa dan adat istiadat sendiri menunjukkan internalisasi superioritas kulit putih yang diidamkannya. Dalam teori psikologi poskolonial Frantz Fanon, ini adalah gejala epidermalization of inferiority—seseorang yang merasa bahwa identitasnya tak bernilai kecuali ia menyerupai penjajah.
Di sinilah ironi dari sistem pendidikan kolonial: ia tidak membebaskan, tapi menjerat. Ia menciptakan individu yang tampak cerdas, tapi tercerabut dari tanah dan sejarahnya sendiri. Maka, konflik dalam Salah Asuhan bukan hanya tentang Hanafi dan Corrie, melainkan juga tentang kegagalan sistem kolonial membentuk subjek yang utuh secara identitas.
Corrie dan Representasi Perempuan Hybrid
Menarik untuk memperhatikan karakter Corrie, yang meski berkulit putih, ternyata tidak sepenuhnya diterima dalam masyarakat Belanda-Eropa karena darah "campurannya". Corrie, dalam bacaan Homi K. Bhabha, adalah figur hybrid—hasil percampuran dua dunia, yang tidak pernah benar-benar diakui oleh keduanya. Ia dan Hanafi sama-sama hidup dalam ambiguitas identitas, tetapi Corrie memiliki keberanian untuk melawan norma sosial Eropa yang membelenggunya. Sementara Hanafi, justru memilih tunduk pada ilusi ke-Eropa-an dan akhirnya kehilangan segalanya.
Dalam konteks ini, Salah Asuhan tidak hanya menyentil kaum terjajah, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem kolonial tidak memberi ruang aman bahkan bagi mereka yang "setengah Eropa". Dunia kolonial adalah dunia yang mengatur hirarki ras dan budaya secara kejam—dan siapa pun yang tidak berada di puncaknya, akan terpinggirkan.
Nasionalisme, Jati Diri, dan Trauma Kolektif
Novel ini terbit pada 1928—tahun yang sama dengan lahirnya Sumpah Pemuda. Namun ironisnya, tokoh utama novel ini justru mewakili kegagalan identitas nasional. Hanafi tidak memiliki rasa kebangsaan, bahkan tidak memiliki keberpihakan budaya. Ia adalah contoh ekstrem dari mental inlander—istilah peyoratif yang dipakai oleh kolonial untuk menyebut pribumi yang tidak berani bersuara atau membela bangsanya.
Namun, Abdul Moeis menulis Salah Asuhan bukan untuk menghina tokohnya, melainkan sebagai cermin. Ia menyajikan potret manusia Indonesia yang kehilangan jati diri sebagai dampak sistemik dari kolonialisme. Dalam konteks ini, novel ini tidak hanya bersifat sastrawi, tetapi juga politis dan terapeutik. Ia mengajak pembaca untuk menyadari bahwa luka identitas bukan sekadar soal pilihan hidup individu, melainkan hasil dari sejarah panjang pembentukan bangsa yang disangga oleh ketimpangan kuasa.
Refleksi Hari Ini: Apakah Kita Masih Salah Asuhan?
Nyaris satu abad setelah novel ini terbit, pertanyaan mendasarnya masih relevan: Apakah kita sudah sembuh dari salah asuhan itu? Apakah kita sudah memiliki sistem pendidikan yang membentuk manusia Indonesia yang merdeka secara berpikir, berbudaya, dan berdaulat secara identitas?
Kita mungkin tidak lagi bermimpi menjadi "orang Eropa", tetapi obsesi terhadap "kulit putih", "produk luar negeri", dan "bahasa Inggris sebagai simbol kelas" masih banyak ditemukan. Dalam dunia digital, kita menghadapi kolonialisme baru: algoritma dan budaya populer global yang membentuk cara berpikir kita secara halus dan sistematis.
Abdul Moeis, melalui novel ini, sebenarnya sudah memberi peringatan dini. Bahwa bangsa yang tidak berdamai dengan sejarah dan jati dirinya sendiri, akan terus tersesat dalam modernitas yang semu.
Salah Asuhan bukan hanya warisan sastra, tetapi juga peringatan budaya. Ia menyadarkan kita bahwa modernitas yang tanpa akar hanya akan melahirkan manusia yang rapuh dan bangsa yang limbung. Dalam situasi global hari ini, membaca kembali novel ini bukan soal nostalgia, melainkan soal menyusun kembali fondasi identitas Indonesia yang berdaulat dan utuh.

Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
0 Pengikut

Salah Asuhan dan Luka Psikologis Bangsa yang Tak Kunjung Pulih
Minggu, 1 Juni 2025 17:52 WIB
Suara Perempuan dalam Novel Kehilangan Mestika Karya Fatimah Hasan
Sabtu, 31 Mei 2025 18:59 WIBArtikel Terpopuler